watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

WANITA BERKERINGAT

Jakarta yang panas membuatku kegerahan di
atas angkot. Kantorku tidak lama lagi kelihatan di
kelokan depan, kurang lebih 100 meter lagi.
Tetapi aku masih betah di atas mobil ini. Angin
menerobos dari jendela. Masih ada waktu bebas
dua jam. Kerjaan hari ini sudah kugarap
semalam. Daripada suntuk diam di rumah, tadi
malam aku menyelesaikan kerjaan yang masih
menumpuk. Kerjaan yang menumpuk sama
merangsangnya dengan seorang wanita dewasa
yang keringatan di lehernya, yang aroma
tubuhnya tercium. Aroma asli seorang wanita.
Baunya memang agak lain, tetapi mampu
membuat seorang bujang menerawang hingga
jauh ke alam yang belum pernah ia rasakan.
“Dik.., jangan dibuka lebar. Saya bisa masuk
angin.” kata seorang wanita setengah baya di
depanku pelan.
Aku tersentak. Masih melongo.
“Itu jendelanya dirapetin dikit..,” katanya lagi.
“Ini..?” kataku.
“Ya itu.”
Ya ampun, aku membayangkan suara itu
berbisik di telingaku di atas ranjang yang putih.
Keringatnya meleleh seperti yang kulihat
sekarang. Napasnya tersengal. Seperti kulihat
ketika ia baru naik tadi, setelah mengejar angkot
ini sekadar untuk dapat secuil tempat duduk.
“Terima kasih,” ujarnya ringan.
Aku sebetulnya ingin ada sesuatu yang bisa
diomongkan lagi, sehingga tidak perlu curi-curi
pandang melirik lehernya, dadanya yang terbuka
cukup lebar sehingga terlihat garis bukitnya.
“Saya juga tidak suka angin kencang-kencang.
Tapi saya gerah.” meloncat begitu saja kata-kata
itu.
Aku belum pernah berani bicara begini, di angkot
dengan seorang wanita, separuh baya lagi. Kalau
kini aku berani pasti karena dadanya terbuka,
pasti karena peluhnya yang membasahi leher,
pasti karena aku terlalu terbuai lamunan. Ia
malah melengos. Sial. Lalu asyik membuka
tabloid. Sial. Aku tidak dapat lagi
memandanginya.
Kantorku sudah terlewat. Aku masih di atas
angkot. Perempuan paruh baya itu pun masih
duduk di depanku. Masih menutupi diri dengan
tabloid. Tidak lama wanita itu mengetuk langit-
langit mobil. Sopir menepikan kendaraan persis
di depan sebuah salon. Aku perhatikan ia sejak
bangkit hingga turun. Mobil bergerak pelan, aku
masih melihat ke arahnya, untuk memastikan ke
mana arah wanita yang berkeringat di lehernya
itu. Ia tersenyum. Menantang dengan mata genit
sambil mendekati pintu salon. Ia kerja di sana?
Atau mau gunting? Creambath? Atau apalah?
Matanya dikerlingkan, bersamaan masuknya
mobil lain di belakang angkot. Sial. Dadaku tiba-
tiba berdegup-degup.
“Bang, Bang kiri Bang..!”
Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah
suaraku mengganggu ketenangan mereka?
“Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek,” sang supir
menggerutu sambil memberikan kembalian.
Aku membalik arah lalu berjalan cepat, penuh
semangat. Satu dua, satu dua. Yes.., akhirnya.
Namun, tiba-tiba keberanianku hilang. Apa
katanya nanti? Apa yang aku harus bilang, lho
tadi kedip-kedipin mata, maksudnya apa?
Mendadak jari tanganku dingin semua. Wajahku
merah padam. Lho, salon kan tempat umum.
Semua orang bebas masuk asal punya uang.
Bodoh amat. Come on lets go! Langkahku
semangat lagi. Pintu salon kubuka.
“Selamat siang Mas,” kata seorang penjaga
salon, “Potong, creambath, facial atau massage
(pijit)..?”
“Massage, boleh.” ujarku sekenanya.
Aku dibimbing ke sebuah ruangan. Ada sekat-
sekat, tidak tertutup sepenuhnya. Tetapi sejak
tadi aku tidak melihat wanita yang lehernya
berkeringat yang tadi mengerlingkan mata ke
arahku. Ke mana ia? Atau jangan-jangan ia tidak
masuk ke salon ini, hanya pura-pura masuk. Ah.
Shit! Aku tertipu. Tapi tidak apa-apa toh tipuan ini
membimbingku ke ‘alam’ lain.
Dulu aku paling anti masuk salon. Kalau potong
rambut ya masuk ke tukang pangkas di pasar.
Ah.., wanita yang lehernya berkeringat itu begitu
besar mengubah keberanianku.
“Buka bajunya, celananya juga,” ujar wanita tadi
manja menggoda, “Nih pake celana ini..!”
Aku disodorkan celana pantai tapi lebih pendek
lagi. Bahannya tipis, tapi baunya harum. Garis
setrikaannya masih terlihat. Aku menurut saja.
Membuka celanaku dan bajuku lalu gantung di
kapstok. Ada dipan kecil panjangnya dua meter,
lebarnya hanya muat tubuhku dan lebih sedikit.
Wanita muda itu sudah keluar sejak melempar
celana pijit. Aku tiduran sambil baca majalah
yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil
itu. Sekenanya saja kubuka halaman majalah.
“Tunggu ya..!” ujar wanita tadi dari jauh, lalu
pergi ke balik ruangan ke meja depan ketika ia
menerima kedatanganku.
“Mbak Wien.., udah ada pasien tuh,” ujarnya dari
ruang sebelah. Aku jelas mendengarnya dari
sini.
Kembali ruangan sepi. Hanya suara kebetan
majalah yang kubuka cepat yang terdengar
selebihnya musik lembut yang mengalun dari
speaker yang ditanam di langit-langit ruangan.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar, pletak-
pletok-pletok. Makin lama makin jelas. Dadaku
mulai berdegup lagi. Wajahku mulai panas. Jari
tangan mulai dingin. Aku makin membenamkan
wajah di atas tulisan majalah.
“Halo..!” suara itu mengagetkanku. Hah..? Suara
itu lagi. Suara yang kukenal, itu kan suara yang
meminta aku menutup kaca angkot. Dadaku
berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu?
Oh.., aku hanya dapat menunduk, melihat
kakinya yang bergerak ke sana ke mari di
ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi
bulu-bulu halus. Aku masih ingat sepatunya tadi
di angkot. Hitam. Aku tidak ingat motifnya,
hanya ingat warnanya.
“Mau dipijat atau mau baca,” ujarnya ramah
mengambil majalah dari hadapanku, “Ayo
tengkurep..!”
Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas
punggungku. Aku tersetrum. Tangannya halus.
Dingin. Aku kegelian menikmati tangannya yang
menari di atas kulit punggung. Lalu pijitan turun
ke bawah. Ia menurunkan sedikit tali kolor
sehingga pinggulku tersentuh. Ia menekan-
nekan agak kuat. Aku meringis menahan
sensasasi yang waow..! Kini ia pindah ke paha,
agak berani ia masuk sedikit ke selangkangan.
Aku meringis merasai sentuhan kulit jarinya.
Tapi belum begitu lama ia pindah ke betis.
“Balik badannya..!” pintanya.
Aku membalikkan badanku. Lalu ia mengolesi
dadaku dengan cream. Pijitan turun ke perut.
Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku
memandang ke arah lain mengindari adu tatap.
Ia tidak bercerita apa-apa. Aku pun segan
memulai cerita. Dipijat seperti ini lebih nikmat
diam meresapi remasan, sentuhan kulitnya.
Bagiku itu sudah jauh lebih nikmat daripada
bercerita. Dari perut turun ke paha. Ah..,
selangkanganku disentuh lagi, diremas, lalu ia
menjamah betisku, dan selesai.
Ia berlalu ke ruangan sebelah setelah
membereskan cream. Aku hanya ditinggali
handuk kecil hangat. Kuusap sisa cream. Dan
kubuka celana pantai. Astaga. Ada cairan putih di
celana dalamku.
Di kantor, aku masih terbayang-bayang wanita
yang di lehernya ada keringat. Masih terasa
tangannya di punggung, dada, perut, paha. Aku
tidak tahan. Esoknya, dari rumah kuitung-itung
waktu. Agar kejadian kemarin terulang. Jam
berapa aku berangkat. Jam berapa harus sampai
di Ciledug, jam berapa harus naik angkot yang
penuh gelora itu. Ah sial. Aku terlambat setengah
jam. Padahal, wajah wanita setengah baya yang
di lehernya ada keringat sudah terbayang. Ini
gara-gara ibuku menyuruh pergi ke rumah
Tante Wanti. Bayar arisan. Tidak apalah hari ini
tidak ketemu. Toh masih ada hari esok.
Aku bergegas naik angkot yang melintas. Toh, si
setengah baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di
salonnya. Aku duduk di belakang, tempat favorit.
Jendela kubuka. Mobil melaju. Angin menerobos
kencang hingga seseorang yang membaca
tabloid menutupi wajahnya terganggu.
“Mas Tut..” hah..? suara itu lagi, suara wanita
setengah baya yang kali ini karena mendung
tidak lagi ada keringat di lehernya. Ia tidak
melanjutkan kalimatnya.
Aku tersenyum. Ia tidak membalas tapi lebih
ramah. Tidak pasang wajah perangnya.
“Kayak kemarinlah..,” ujarnya sambil
mengangkat tabloid menutupi wajahnya.
Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah? Atau
kesialan, karena ia masih mengangkat tabloid
menutupi wajah? Aku kira aku sudah terlambat
untuk bisa satu angkot dengannya. Atau jangan-
jangan ia juga disuruh ibunya bayar arisan. Aku
menyesal mengutuk ibu ketika pergi. Paling tidak
ada untungnya juga ibu menyuruh bayar arisan.
“Mbak Wien..,” gumamku dalam hati.
Perlu tidak ya kutegur? Lalu ngomong apa? Lha
wong Mbak Wien menutupi wajahnya begitu.
Itu artinya ia tidak mau diganggu. Mbak Wien
sudah turun. Aku masih termangu. Turun tidak,
turun tidak, aku hitung kancing. Dari atas: Turun.
Ke bawah: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke
bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke
bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Hah habis
kancingku habis. Mengapa kancing baju cuma
tujuh?
Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing di
bagian lengan, kalau belum cukup kancing
Bapak-bapak di sebelahku juga bisa. Begini saja
daripada repot-repot. Anggap saja tiap-tiap baju
sama dengan jumlah kancing bajuku: Tujuh.
Sekarang hitung penumpang angkot dan supir.
Penumpang lima lalu supir, jadi enam kali tujuh,
42 hore aku turun. Tapi eh.., seorang
penumpang pakai kaos oblong, mati aku. Ah
masa bodo. Pokoknya turun.
“Kiri Bang..!”
Aku lalu menuju salon. Alamak.., jauhnya. Aku
lupa kelamaan menghitung kancing. Ya tidak
apa-apa, hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.
“Mau pijit lagi..?” ujar suara wanita muda yang
kemarin menuntunku menuju ruang pijat.
“Ya.”
Lalu aku menuju ruang yang kemarin. Sekarang
sudah lebih lancar. Aku tahu di mana
ruangannya. Tidak perlu diantar. Wanita muda
itu mengikuti di belakang. Kemudian
menyerahkan celana pantai.
“Mbak Wien, pasien menunggu,” katanya.
Majalah lagi, ah tidak aku harus bicara padanya.
Bicara apa? Ah apa saja. Masak tidak ada yang
bisa dibicarakan. Suara pletak-pletok mendekat.
“Ayo tengkurap..!” kata wanita setengah baya itu.
Aku tengkurap. Ia memulai pijitan. Kali ini lebih
bertenaga dan aku memang benar-benar pegal,
sehingga terbuai pijitannya.
“Telentang..!” katanya.
Kuputuskan untuk berani menatap wajahnya.
Paling tidak aku dapat melihat leher yang basah
keringat karena kepayahan memijat. Ia cukup
lama bermain-main di perut. Sesekali tangannya
nakal menelusup ke bagian tepi celana dalam.
Tapi belum tersentuh kepala juniorku. Sekali.
Kedua kali ia memasukkan jari tangannya. Ia
menyenggol kepala juniorku. Ia masih dingin
tanpa ekspresi. Lalu pindah ke pangkal paha. Ah
mengapa begitu cepat.
Jarinya mengelus tiap mili pahaku. Si Junior
sudah mengeras. Betul-betul keras. Aku masih
penasaran, ia seperti tanpa ekspresi. Tetapi eh..,
diam-diam ia mencuri pandang ke arah juniorku.
Lama sekali ia memijati pangkal pahaku. Seakan
sengaja memainkan Si Junior. Ketika Si Junior
melemah ia seperti tahu bagaimana
menghidupkannya, memijat tepat di bagian
pangkal paha. Lalu ia memijat lutut. Si Junior
melemah. Lalu ia kembali memijat pangkal
pahaku. Ah sialan. Aku dipermainkan seperti
anak bayi.
Selesai dipijat ia tidak meninggalkan aku. Tapi
mengelap dengan handuk hangat sisa-sisa
cream pijit yang masih menempel di tubuhku.
Aku duduk di tepi dipan. Ia membersihkan
punggungku dengan handuk hangat. Ketika
menjangkau pantatku ia agak mendekat. Bau
tubuhnya tercium. Bau tubuh wanita setengah
baya yang yang meleleh oleh keringat. Aku
pertegas bahwa aku mengendus kuat-kuat
aroma itu. Ia tersenyum ramah. Eh bisa juga
wanita setengah baya ini ramah kepadaku.
Lalu ia membersihkan pahaku sebelah kiri, ke
pangkal paha. Junior berdenyut-denyut. Sengaja
kuperlihatkan agar ia dapat melihatnya. Di balik
kain tipis, celana pantai ini ia sebetulnya bisa
melihat arah turun naik Si Junior. Kini pindah ke
paha sebelah kanan. Ia tepat berada di tengah-
tengah. Aku tidak menjepit tubuhnya. Tapi
kakiku saja yang seperti memagari tubuhnya.
Aku membayangkan dapat menjepitnya di sini.
Tetapi, bayangan itu terganggu. Terganggu
wanita muda yang di ruang sebelah yang
kadang-kadang tanpa tujuan jelas bolak-balik ke
ruang pijat.
Dari jarak yang begitu dekat ini, aku jelas melihat
wajahnya. Tidak terlalu ayu. Hidungnya tidak
mancung tetapi juga tidak pesek. Bibirnya
sedang tidak terlalu sensual. Nafasnya tercium
hidungku. Ah segar. Payudara itu dari jarak yang
cukup dekat jelas membayang. Cukuplah kalau
tanganku menyergapnya. Ia terus mengelap
pahaku. Dari jarak yang dekat ini hawa panas
tubuhnya terasa. Tapi ia dingin sekali.
Membuatku tidak berani. Ciut. Si Junior tiba-tiba
juga ikut-ikutan ciut. Tetapi, aku harus berani.
Toh ia sudah seperti pasrah berada di dekapan
kakiku.
Aku harus, harus, harus..! Apakah perlu
menhitung kancing. Aku tidak berpakaian kini.
Lagi pula percuma, tadi saja di angkot aku kalah
lawan kancing. Aku harus memulai. Lihatlah,
masak ia begitu berani tadi menyentuh kepala
Junior saat memijat perut. Ah, kini ia malah
berlutut seperti menunggu satu kata saja dariku.
Ia berlutut mengelap paha bagian belakang. Kaki
kusandarkan di tembok yang membuat ia bebas
berlama-lama membersihkan bagian belakang
pahaku. Mulutnya persis di depan Junior hanya
beberapa jari. Inilah kesempatan itu. Kesempatan
tidak akan datang dua kali. Ayo. Tunggu apa lagi.
Ayo cepat ia hampir selesai membersihkan
belakang paha. Ayo..!
Aku masih diam saja. Sampai ia selesai
mengelap bagian belakang pahaku dan berdiri.
Ah bodoh. Benarkan kesempatan itu lewat. Ia
sudah membereskan peralatan pijat. Tapi
sebelum berlalu masih sempat melihatku sekilas.
Betulkan, ia tidak akan datang begitu saja.
Badannya berbalik lalu melangkah. Pletak, pletok,
sepatunya berbunyi memecah sunyi. Makin
lama suara sepatu itu seperti mengutukku bukan
berbunyi pletak pelok lagi, tapi bodoh, bodoh,
bodoh sampai suara itu hilang.
Aku hanya mendengus. Membuang napas.
Sudahlah. Masih ada esok. Tetapi tidak lama,
suara pletak-pletok terdengar semakin nyaring.
Dari iramanya bukan sedang berjalan. Tetapi
berlari. Bodoh, bodoh, bodoh. Eh.., kesempatan,
kesempatan, kesempatan. Aku masih
mematung. Duduk di tepi dipan. Kaki
disandarkan di dinding. Ia tersenyum melihatku.
“Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan,”
katanya.
Ia mencari-cari. Di mana? Aku masih
mematung. Kulihat di bawahku ada kain, ya
seperti saputangan.
“Itu kali Mbak,” kataku datar dan tanpa tekanan.
Ia berjongkok persis di depanku, seperti ketika ia
membersihkan paha bagian bawah. Ini
kesempatan kedua. Tidak akan hadir kesempatan
ketiga. Lihatlah ia tadi begitu teliti membenahi
semua perlatannya. Apalagi yang dapat
tertinggal? Mungkin sapu tangan ini saja suatu
kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada
sesuatu, juga pada sapu tangan. Karena itulah,
tidak akan hadir kesempatan ketiga. Ayo..!
“Mbak.., pahaku masih sakit nih..!” kataku
memelas, ya sebagai alasan juga mengapa aku
masih bertahan duduk di tepi dipan.
Ia berjongkok mengambil sapu tangan. Lalu
memegang pahaku, “Yang mana..?”
Yes..! Aku berhasil. “Ini..,” kutunjuk pangkal
pahaku.
“Besok saja Sayang..!” ujarnya.
Ia hanya mengelus tanpa tenaga. Tapi ia masih
berjongkok di bawahku.
“Yang ini atau yang itu..?” katanya menggoda,
menunjuk Juniorku.
Darahku mendesir. Juniorku tegang seperti
mainan anak-anak yang dituip melembung.
Keras sekali.
“Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh.”
Ia berdiri. Lalu menyentuh Junior dengan sisi luar
jari tangannya. Yes. Aku bisa dapatkan ia, wanita
setengah baya yang meleleh keringatnya di
angkot karena kepanasan. Ia menyentuhnya. Kali
ini dengan telapak tangan. Tapi masih terhalang
kain celana. Hangatnya, biar begitu, tetap terasa.
Aku menggelepar.
“Sst..! Jangan di sini..!” katanya.
Kini ia tidak malu-malu lagi menyelinapkan
jemarinya ke dalam celana dalamku. Lalu
dikocok-kocok sebentar. Aku memegang
teteknya. Bibirku melumat bibirnya.
“Jangan di sini Sayang..!” katanya manja lalu
melepaskan sergapanku.
“Masih sepi ini..!” kataku makin berani.
Kemudian aku merangkulnya lagi, menyiuminya
lagi. Ia menikmati, tangannya mengocok Junior.
“Besar ya..?” ujarnya.
Aku makin bersemangat, makin membara,
makin terbakar. Wanita setengah baya itu
merenggangkan bibirnya, ia terengah-engah, ia
menikmati dengan mata terpejam.
“Mbak Wien telepon..,” suara wanita muda dari
ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam
pertarungan tinju.
Mbak Wien merapihkan pakaiannya lalu pergi
menjawab telepon.
“Ngapaian sih di situ..?” katanya lagi seperti iri
pada Wien.
Aku mengambil pakaianku. Baru saja aku
memasang ikat pinggang, Wien menghampiriku
sambil berkata, “Telepon aku ya..!”
Ia menyerahkan nomor telepon di atas kertas
putih yang disobek sekenanya. Pasti terburu-
buru. Aku langsung memasukkan ke saku baju
tanpa mencermati nomor-nomornya. Nampak
ada perubahan besar pada Wien. Ia tidak lagi
dingin dan ketus. Kalau saja, tidak keburu wanita
yang menjaga telepon datang, ia sudah melumat
Si Junior. Lihat saja ia sudah separuh berlutut
mengarah pada Junior. Untung ada tissue yang
tercecer, sehingga ada alasan buat Wien.
Ia mengambil tissue itu, sambil mendengar
kabar gembira dari wanita yang menunggu
telepon. Ia hanya menampakkan diri separuh
badan.
“Mbak Wien.., aku mau makan dulu. Jagain
sebentar ya..!”
Ya itulah kabar gembira, karena Wien lalu
mengangguk.
Setelah mengunci salon, Wien kembali ke
tempatku. Hari itu memang masih pagi, baru
pukul 11.00 siang, belum ada yang datang, baru
aku saja. Aku menanti dengan debaran jantung
yang membuncah-buncah. Wien datang. Kami
seperti tidak ingin membuang waktu, melepas
pakaian masing-masing lalu memulai
pergumulan.
Wien menjilatiku dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Aku menikmati kelincahan lidah
wanita setengah baya yang tahu di mana titik-
titik yang harus dituju. Aku terpejam menahan
air mani yang sudah di ujung. Bergantian Wien
kini telentang.
“Pijit saya Mas..!” katanya melenguh.
Kujilati payudaranya, ia melenguh. Lalu
vaginanya, basah sekali. Ia membuncah ketika
aku melumat klitorisnya. Lalu mengangkang.
“Aku sudah tak tahan, ayo dong..!” ujarnya
merajuk.
Saat kusorongkan Junior menuju vaginanya, ia
melenguh lagi.
“Ah… Sudah tiga tahun, benda ini tak kurasakan
Sayang. Aku hanya main dengan tangan.
Kadang-kadang ketimun. Jangan dimasukkan
dulu Sayang, aku belum siap. Ya sekarang..!”
pintanya penuh manja.
Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan
berdering. Kring..! Aku mengurungkan niatku.
Kring..!
“Mbak Wien, telepon.” kataku.
Ia berjalan menuju ruang telepon di sebelah. Aku
mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi
ia menunggingkan pantatnya.
“Ya sekarang Sayang..!” katanya.
“Halo..?” katanya sedikit terengah.
“Oh ya. Ya nggak apa-apa,” katanya menjawab
telepon.
“Siapa Mbak..?” kataku sambil menancapkan
Junior amblas seluruhnya.
“Si Nina, yang tadi. Dia mau pulang dulu ngeliat
orang tuanya sakit katanya sih begitu,” kata
Wien.
Setelah beberapa lama menyodoknya, “Terus
dong Yang. Auhh aku mau keluar ah.., Yang
tolloong..!” dia mendesah keras.
Lalu ia bangkit dan pergi secepatnya.
“Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebantar lagi
Mbak Mona yang punya salon ini datang,
biasanya jam segini dia datang.”
Aku langsung beres-beres dan pulang.
TAMAT


Adult | GO HOME | Exit
1/1057
U-ON

inc Powered by Xtgem.com